Translate

Melongok Wajah Pendidikan di Daerah Terpencil


Melongok Wajah Pendidikan di Daerah Terpencil
Widi Kurniawan, REP | 02 May 2012 | 13:01; http://edukasi.kompasiana.com/

Kaki-kaki kami terus berjalan melintasi jalan setapak di tengah lebatnya kebun kelapa. Seratus meter, dua ratus meter, lima ratus meter terlewati, hingga satu kilometer lebih akhirnya bangunan sekolah dasar itu terlihat dari kejauhan. Berpagar kayu, serta bentuk pintu gerbang amat sederhana, mengingatkan pagar keliling bangunan SD di film Laskar Pelangi. Bedanya, bangunan dan cat SD Negeri Tondongito ini sepertinya relatif masih baru, walau beberapa bagian atap seng terlihat bolong-bolong keropos akibat pengaruh laut.

Inilah rata-rata wajah bangunan sekolah di Pulau Wawonii. Sebuah pulau di bagian timur Sulawesi Tenggara yang berbatasan langsung dengan luasnya Laut Banda. Desa Tondongito sendiri adalah salah satu desa di Kecamatan Wawonii Tenggara, satu dari tujuh kecamatan di Pulau Wawonii yang masuk dalam adminsitrasi pemerintahan Kabupaten Konawe.
Wawonii Tenggara boleh dikatakan terbilang tertinggal dibanding daerah lain. Laut adalah satu-satunya akses termudah untuk mencapai daerah ini. Perahu kayu atau warga setempat menyebutnya katinting, adalah alat transportasi yang menghubungkan antar desa. Untungnya di setiap desa sudah ada minimal satu sekolah dasar, sehingga anak-anak desa tidak perlu menyeberang laut untuk sekolah. SMP pun rata-rata ada satu di desa yang berbatasan darat sehingga bisa dipakai bersama.

“Selepas SMP biasanya yang mau melanjutkan pilih di Kendari karena walau ada SMA di kecamatan sebelah, tapi ongkos sewa perahu lebih mahal daripada ongkos kapal ke Kendari,” tutur Pak Tajudin, Kepala Desa Polara di Wawonii Tenggara.
Ya, biaya sewa perahu motor ke Desa Munse di Kecamatan Wawonii Timur yang jaraknya hanya beberapa kilometer bisa mencapai seratus ribu rupiah, sementara biaya kapal laut ke Kendari yang memakan waktu kurang lebih 3,5 jam hanya lima puluh ribu rupiah. Di Kendari mereka biasa kos atau ikut dengan sanak saudara.

Perjalanan menyusuri Wawonii, dengan menyaksikan sendiri bagaimana kondisi pendidikan anak-anak di sana, membuat saya menyadari bahwa saya telah diberi nikmat Yang Maha Kuasa yang luar biasa berupa kemudahan menempuh jenjang sekolah hingga lulus kuliah. Namun, melihat keriangan anak-anak di sana yang terlihat sangat akrab dengan alam, terutama lautan, membuat saya sedikit iri bahwa mereka nyatanya tak terbebani dengan rutinitas sekolah, yang di kota-kota besar seolah kian menggerus waktu bermain yang positif.
Anak-anak kecil itu sudah begitu fasih mendayung perahu, di tengah gempuran ombak lautan lepas. Mereka juga tak takut berenang dan terjun dari ketinggian, entah pohon atau lereng, untuk terjun ke laut. Alam seolah menjadi guru sejati mereka, saat teman-teman sebaya mereka di perkotaan mungkin tengah berkutat dengan les, kursus dan sejenisnya.
Keadaan sekolah mereka juga sangat timpang bila menyebut berbagai fasilitas pendukung macam laboratorium hingga peralatan komputer. Bahkan listrik yang mengalir di Wawonii Tenggara pun hanya mengandalkan panel tenaga surya maupun tenaga air yang hanya sanggup mengalirkan jumlah watt yang terbatas.
Ada sedikit trenyuh juga saat saya mengintip ke bangunan SD Tondongito itu. Saat itu anak-anak siswa sedang libur, namun seperti ditunjukkan kepala desa setempat, bangunan SD tidaklah terkunci, kecuali ruangan kantor guru. Maka saya bisa mendapati pemandangan yang memilukan saat melihat hanya satu kelas yang bangkunya berjejer rapi dari tiga ruangan kelas yang ada.

Kesunyian merayapi bangunan tersebut, sehingga hanya terdengar suara debur ombak Laut Banda dan angin yang menerpa pohon-pohon kelapa. Saya memandangi atap seng yang bolong-bolong dan teringat perbincangan dengan salah satu guru SMP di kecamatan tersebut.
“Bangunan termasuk atap sekolah di sini adalah bantuan pemerintah, herannya kenapa kami dikasih atap seng bukan asbes padahal tempat ini dekat laut,” tuturnya.
Memang seng bisa cepat keropos akibat garam air laut. Inilah yang disebut bantuan atau pembangunan tidak tepat sasaran. Bangunan baru bisa dengan mudah rusak dalam beberapa bulan karena tidak mengerti kondisi iklim sesungguhnya di lapangan.
“Kami sudah berupaya dengan berbagai jalan untuk memohon bantuan yang benar-benar bisa bermanfaat, tapi ya…” sebutnya tanpa menyelesaikan kalimat, hanya senyum kecil.

Salut, satu kata ini saya sematkan pada guru-guru yang mau berjuang di daerah terpencil seperti itu. Bagi mereka pendapatan mungkin hal kesekian, karena biasanya mereka juga bekerja di kebun. Namun, satu hal pasti, meningkatkan kualitas pendidikan untuk anak-anak pesisir itu adalah tujuan terpenting. Sekian dan selamat hari pendidikan nasional.